PEKERJA DIBAWAH UMUR
Pekerja
anak adalah sebuah istilah
untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki
konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji
yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya,
kesehatan, dan prospek masa depan.
Di beberapa negara, hal ini dianggap
tidak baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah
tangga dan pekerjaan
sekolah. Seorang 'bos' dilarang untuk mempekerjakan anak di
bawah umur, namun umum minimumnya tergantung dari peraturan negara tersebut.
Meskipun
ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang
menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap
merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak
tersebut. Namun beberapa kelompok hak pemuda merasa bahwa pelarangan kerja di
bawah umur tertentu melanggar hak manusia.
Penggunaan
anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya
sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin
mungkin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan
anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber
pendapatan.
Urbanisasi juga menjadi faktor penyebab maraknya pekerja
anak. Pedesaan dipandang kurang menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga. Alhasil orang tua yang mengharapkan perbaikan ekonomi ini mengajak
anaknya untuk ikut membantu bekerja mulai dari pengemis atau bahkan buruh
pabrik.
Di indonesia anak
yang membantu orang tuanya bekerja bisa dipandang sebagai anak yang berbakti
kepada orang tua. Faktor sosial dan budaya ini juga menyebabkan pekerja dibawah
umur di beberapa wilayah di Indonesia menjadi lumrah.
Hak-hak Anak Dalam Persepektif Hukum
internasional
Hak-hak asasi
manusia merupakan terjemahan dari istilah droits de I’homme dalam bahasa
Perancis yang berarti “hak manusia” atau dalam bahasa Inggrisnya human rights,
yang dalam bahasa Belanda disebut menselijke rechten. Di Indonesia umumnya
dipergunakan istilah: “hak-hak asasi”, yang merupakan terjemahan dari basic
rights dalam bahasa Inggris dan grondrecten dalam bahasa Belanda.
Sebagian orang menyebutkannya
dengan istilah hak-hak fundamental, sebagai terjemahan dari fundamental rights
dalam bahasa Inggris dan fundamentele rechten dalam bahasa Belanda. Di Amerika
Serikat di samping dipergunakan istilah human rights, dipakai juga istilah civil
rights.
Di Indonesia sering
dipergunakan istilah “hak dasar manusia”. Dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, misalnya dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949,
undang-Undang Dasar Sementara 1950, Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 bahkan
dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa), dipergunakan istilah: “hak-hak asasi
manusia”.
Seorang aktivis perempuan bernama Eglantyne
Jebb mengarahkan mata dunia untuk melihat situasi anak-anak setelah perang
dunia I. Perang ini mengakibatkan kelaparan dan penyakit terhadap anak-anak.
Pada tahun 1923, Mrs.Eglantyne Jebb
membuat 10 pernyataan Hak-hak anak dan mengubah gerakannya menjadi perjuangan
Hak-hak anak :
1.) Bermain;
2.) Mendapatkan nama sebagai identitas;
3.) Mendapatkan makanan;
4.) Mendapatkan kewarganegaraan sebagai status kebangsaan;
5.) Mendapatkan persamaan;
6.) Mendapatkan pendidikan;
7.) Mendapatkan perlindungan;
8.) Mendapatkan sarana rekreasi;
9.) Mendapatkan akses kesehatan;
10.)
Mendapatkan kesempatan berperan
serta dalam pembangunan.
Pada tahun 1959, tepatnya tanggal 1
Juni PBB mengumumkan pernyataan Hak anak dan ditetapkan sebagai hari anak
sedunia. Kemudian, pada tahun 1979 diputuskan sebagai Tahun Anak dan ditetapkan
20 November sebagai hari anak internasional. Setelah sepuluh tahun kemudian,
pada tahun 1989, Konvensi Hak-hak anak disahkan oleh PBB. Inilah pengakuan
khusus secara internasional atas hak asasi yang dimiliki anak-anak.
Salah satu Hak Asasi Manusia yang
mendasar adalah hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Hak itu
tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 26 ayat 1
“Setiap orang berhak mendapat pengajaran.Pengajaran harus dengan percuma,
setidak-tidaknya dalam tingkatan rendah dan tingkatan dasar. Pengajaran sekolah
rendah harus diwajibkan. Pengajaran teknik dan vak harus terbuka bagi semua
orang dan pengajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh
semua orang berdasarkan kecerdasan”.
Hak yang begitu penting ini dalam
Konvensi Internasional HAM dimasukkan dalam Pasal 13 Konvensi Internasional
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant Economi, Social and
Cultural Right). Konvensi ini mewajibkan bagi setiap negara peserta kovenan
untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negaranya. Hak ini termuat dalam UUD
1945 Pasal 31 dan dalam amandemen IV mengharuskan anggaran pendidikan APBN dan
APBD minimal 20%.
Dalam Pasal 12 UU HAM No. 39 Tahun 1999, telah diatur
mengenai hak pendidikan, yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas
perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan,
mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi
manusiayang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan
sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia." Ketentuan UU
HAM mempertegas untuk memperoleh pendidikan maupun mencerdaskan dirinya.
Artinya tidak hanya pendidikan semata, namun fasilitas untuk meningkatkan
kecerdasan juga harus terpenuhi. Penanggungjawab utama untuk memenuhi hak-hak
itu adalah Pemerintah.
Peran
Pemerintah Terhadap Kasus Pekerja dibawah Umur
Hak
asasi anak diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam piagam PBB,
deklarasi PBB tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di
Philadelphia tahun 1944 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB tahun 1989 tentang
hak-hak anak. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi yang termuat dalam
Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi perserikatan
Bangsa-Bangsa tenatng hak-hak anak (Convention on the rights of the child).
Bahwa dalam deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB telah menyatakan bahwa
dalam masa kanak-kanak, anak berhak memperoleh pemeliharaaan dan bantuan
khusus.
Sebagai
anggota PBB dan organisasi ketenagakerjaan Internasional atau ILO
(International Labour Organization) Indonesia emnghargai , menjunjung tinggi,
dan berupaya menerapkan perlindungan hak asasi manusia, termausk di dalamnya
adalah hak anak. Konvensi IILO No. 182 tahun 1999 mengenai pelarangan dan
tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak yang
disetujui pada ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di
Jenewa dan telah diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan Undang-undang No.1
tahun 2000, merupakan salah satu konvensi yang melindungi hak asasi anak.
Konvensi
ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah merativikasinya harus
segera melakukan tindakan –tindakan untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak.
Pada
tahun 2002, dua tahun setelah meratifikasi konvensi bentuk-bentuk pekerja
terburuk untuk anak, pemerintah Indonesia, melalui dekrit presiden, meluncurkan
Rencana Aksi Nasional dua puluh tahun untuk Penghapusan Bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak (Rencana Aksi Nasional)
Melalui
sebuah langkah, yang mendapatkan sambutan baik rencana tersebut menyebut
anak-anak yang mengalami eksploitasi fisik maupun ekonomi “sebagai pelayan
rumah tangga”, bersama dengan dua belas bidang perburuhan anak lainnya, sebagai
sebuah bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Namun sayangnya sejak itu
pemerintah gagal dalam mengambil langkah apapun untuk melindungi pekerja
dibawah umur.
Rencana
Aksi nasional itu terdiri dari tiga tahap. Tahap yang pertama direncanakan
untuk di capai dalam waktu lima tahun, tahap kedua selama 10 tahun dan tahap
ketiga dalam waktu dua puluh tahun.
Tujuan
tahap pertama Rencana Aksi Nasional pada tahun 2003-2007 adalah untuk :
1.) meningkatkan kesadaran masyarakat
mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
2.) memetakan keberadaan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak
3.) menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak di lima bidang: anak yang terlibat dalam penjualan,
pembuatan, dan perdagangan obat terlarang, anak yang diperdagangkan untuk
pelacuran, dan anak yang bekerja dalam penangkapan ikan lepas pantai,
pertambangan, dan produksi alas kaki.
Tahap kedua Rencana Aksi Nasional
akan dicapai 10 tahun dan akan mencontoh model-model dari tahap pertama yang
digunakan untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak untuk
diterapkan di bidang-bidang lain.
Pemerintah melalui kerjasamnya
dengan ILO-IPEC, telah memulai sebuah program terikat waktu di lima bidang yang
ditunjuk sebagai target dalam tahap pertama. Pekerja Rumah Tangga Anak, yang
melibatkan sedikitnya 688.132 orang anak, yang sebagian besar adalah anak
perempuan yang bekerja dalam situasi kerja yang tersembunyi dan menghadapi
resiko pelecehan seksual, fisik, dan psikologis, belum dianggpa oleh pemerintah
sebagai suatu prioritas seperti sektor-sektor lain yang ada dalam tahap pertama
rencana aksi tersebut. Pemerintah Indonesia juga belum mengumumkan rencananya
untuk menangani masalah bentuk-bentuk terburuk pekerjaan tumah tangga untuk
anak pad atahap kedua rencana aksi nasional ini.
Pemerintah harus memprioritaskan
program-program untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
bersama dengan bidang-bidang lain yang telah dikemukakan. Konvensi
bentuk-bentuk pkerjaan terburuk untuk anak mewajibkan negara-negara yang
terikat di dalamnya untuk menerapkan program kerja dengan tujuan utamnya
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk unruk anak “dengan
mempertimbangkan situasi khusus yang dihadapi anak perempuan” .
Rekomendasi bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak, secara khusus mendorong negara untuk memberi “perhatian
istimewa” terhadap “masalah situasi kerja tersembunyi, dimana anak perempuan
menghadapi resiko khusus. Selain itu, komite Hak anak, yang bertugas mengawasi
kepatuhan negara terhadap konvensi itu , pada tahun 2004 mengeluarkan
rekomendasi agar Indonesia “menjamin bahwa (pemerintah) akan menjangkau dan
melindungi anak-anak yang dipekerjakan di sektor informal, khususnya pekerja
rumah tangga. Hingga saat ini Indonesia belum melakukan hal tersebut.
Kesimpulan
Sering kita jumpai kasus anak yang
bekerja dibawah umur. Alasan yang paling utama yaitu faktor ekonomi, dimana
seorang anak dipaksa atau terpaksa membantu mencari nafkah untuk kelangsungan
hidup keluarganya.
Terkadang anak pun lebih memilih
untuk bekerja dari pada untuk bersekolah karena situasi disekolah menurut
anak-anak tidak menyenangkan,atau fasilitas yang kurang memadai,jarak yang begitu
jauh,medan yang sulit untuk dilalui, atau bahkan biaya yang begitu mahal.
Urbanisasi juga menjadi faktornya,
di pedesaan dianggap kutang bisa memperbaiki ekonomi keluarga sehingga mereka
ke kota dengan kemampuan terbatas yang pada akhirnya anak di wajibkan untuk
ikut membantu mencari nafkah.
Faktor sosial budaya Indonesia, di
Indonesia anak yang membantu mencari nafkah dipandang sebagai anak yang penurut
yang artinya hal tersebut dipandang sebagai wujub bakti seorang anak terhadap
orang tua.
Wujud keprihatianan akan hak-hak
anak di mulai ketika perang dunia I usai, dimana terdapat banyak anak yang
menderita kelaparan dan terserang penyakit yang kemudian oleh Mrs.Eglantyne
Jebb Pada tahun 1923, membuat 10 pernyataan Hak-hak anak dan mengubah gerakannya
menjadi perjuangan Hak-hak anak.
Adapun instrumen Hukum Internasional
mengenai perlindungan hak-hak anak antara lain United Nations Standard Minimun
Rules for the Administration of Juvenile Justice (Peraturan-peraturan minimum
standar PBB mengenai administrasi peradilan bagi remaja) “Beijing Rules”
(Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/33 tanggal 29 November 1985), United Nations
Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty
(Peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan remaja yang kehilangan kebebasannya)
(Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/133 tanggal 14 November 1990), dan United
Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency (Pedoman PBB dalam
rangka pencegahan tindak pidana anak dan remaja) “Riyadh Guidelines” (Resolusi
Majelis Umum PBB No. 45/112 tanggal 14 Desember 1990).
ILO sangat memperhatikan masalah
pekerja dibawah umur terbukti dengan Konvensi ILO No. 182 tahun 1999 mengenai
pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
anak yang disetujui pada ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni
1999 di Jenewa dan telah diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan
Undang-undang No.1 tahun 2000.
Kemudian pada tahun 2002 Indonesia
meluncurkan Rencana Aksi Nasional dua puluh tahun untuk Penghapusan Bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak (Rencana Aksi Nasional). Renacana ini terdiri
dari 3 tahap. Tahap yang pertama dicapai dalam 5 tahun, kedua 10 tahun, dan
ketiga 20 tahun. Namun Indonesia hingga saat ini belum mencapai semua itu.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar